Mereka memang tidak sendirian, puluhan orang berjajar di belakang mereka. Penumpang kereta yang duduk diatap tanpa pengaman. Hanya berpegang pada sesuatu yang dapat mereka raih.
Anakku satu-satunya itu, suatu ketika pulang dengan bajunya yang belepotan. Ketika kutanya dia berkata, bahwa diatas gerbong itu telah dipasang semprotan oli. Agar tidak ada lagi penumpang yang naik ke atas gerbong kereta. Namun tak juga jera, tetap saja dia dan para penumpang itu berbondong - bondong naik walau semprotan oli siap menyiram.
Pernah juga anakku pulang dengan wajah memerah, sepertinya berkelahi. Namun ketika kutanya dia menjawab, bahwa dia terkena jebakan penempar yang dibuat agar penumpang tak naik ke atas gerbong kereta. Tetap saja, dia dan penumpang itu tak juga jera. Gemar untuk berada diatas gerbong kereta.
Rasa khawatir pernah membuatku geram suatu ketika. Aku marahi anakku itu agar tidak lagi naik ke atas gerbong kereta. Namun dia bisa menjawab dengan lantang dan tegas. Yang membuatku berfikir dua kali untuk bertanya, “kenapa masih saja naik ke atas gerbong kereta?”.
Dengan sabar aku jelaskan kepadanya, tentang bahaya dan resiko berada disana. Dia mendengar dan memahami, namun sesudahnya dia menjawab, dengan jawaban yang sama, yang membuatku mengurungkan niat untuk menjelaskan lagi kepadanya.
Hingga tibalah hari yang mengenaskan itu tiba. Anakku datang tak bernyawa lagi. Para pengantar mengatakan, dia terjatuh dari atas gerbong kereta. Ketika sedang melaju kencang dan jauh dari pemberhentian.
Tak berguna lagi rasa khawatir itu. Percuma sudah penjelasan yang kusiapkan untuknya. Tinggallah tangis yang tak mungkin bisa mengembalikan lagi nyawanya.
Ingin rasanya dia bisa membantah lagi. Ingin rasanya melihat dia kembali loncat bersama temannya. Dari atas gerbong kereta yang telah mengantarkannya ke alam baka.
Tapi tidak mungkin. Karena dia kini sudah terbujur kaku, telentang di dalam kubur dengan tanahnya yang masih merah basah. Beberapa tumpukan bunga menemani nisannya yang belum ditulisi.
Dari sekian bantahan yang dia katakan. Aku masih bisa menhafal kata katanya. Dari beberapa ocehannya itu, aku masih bisa menghafal kata kata yang membuatku ragu untuk memarahinya.
“Pak, aku juga malas naik di atas gerbong kereta. Tapi di dalam gerbong sudah tidak ada tempat lagi. Jangankan duduk, untuk berdiri saja perlu berdesakan disana. Kalo gak naik ke atas gerbong, kapan mau sampai di rumah?”.
****
Terinspirasi dari curhatan temanku yang hampir setiap hari harus berjuang di atas gerbong kereta. Sungguh dia tidak suka menaikinya, apalagi dengan semprotan oli dan jebakan penampar yang dibuat itu. Tapi apa daya? Di dalam gerbong memang sudah tidak ada tempat lagi.
Semoga kedepannya bukan dipasang aneka jebakan diatas gerbong. Tapi diberikan kelancaran transportasi saja. Seperti membasmi rumput liar yang harus dicabut dari akarnya. Bukan dengan menghambur hamburkan biaya memotong pucuknya saja.
Selengkapnya
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan dan tidak Spam.... kalau tidak punya akun blogger silahkan pilih Name / URL isikan nama dan email juga bisa, atau kosongkan URL. Mohon maaf Live Link, langsung akan saya hapus.