Home » » Cinta Senja ODHA

Cinta Senja ODHA



Yaman bukanlah negara kaya seperti negara-negara lain di daerah Arab. Tentu saja aku memilih tinggal di Yaman karena alasan yang kuat. Setidaknya, aku datang ke Yaman bukan untuk bekerja kepada orang lain. Mengurusi lembaga pendidikan yang menjadi salah satu lembaga terbaik di daerah Khur Mukalla adalah kebanggan tersendiri buatku.
Khur Mukalla sebagai salah satu kota terbesar di Yaman sudah begitu akrab denganku. Rencana kepulanganku ke Indonesia, membuat semua tetangga dan teman-temanku sepertinya akan merasa kehilangan. Meraka selalu berpesan untuk secepatnya kembali ke Yaman.
Aku sendiri memang merasa betah tinggal di Yaman. Selain sudah tinggal dengan beberapa keluarga yang ku bawa kesini, sepertinya kehidupan disini lebih menyenangkan daripada di kampung halamanku.
Saat kubereskan pakaian dalam tasku, tak lupa aku menyimpan sapu tangan yang setia menemaniku beberapa tahun ini. Sebuah sapu tangan putih dengan sulaman berwarna merah muda. Tepat di salah satu sudutnya disulam inisial namaku dan namanya.
Saputangan itu seakan menjadi pengganti rasa rinduku padanya, dia yang saat ini pasti menungguku setelah sekian lama tidak bertemu. Sebuah foto usang didompetku adalah teman satu satunya saputangan itu. Foto dia dengan senyumnya yang tak pernah bisa hilang dari anganku. Karena aku ingin selalu melihatnya seperti itu.
Tak sabar rasanya, aku ingin segera bertemu dan memastikan rencana pernikahan yang sudah sekian lama tertunda. Dia yang selama ini menjadi penyemangat hidup dan usahaku. Setia menunggu walau jarak memisakan begitu jauh.
***
Tak cukup satu hari aku memuaskan tetangga dan saudara yang berkunjung ke rumah. Mereka ingin sekali mengetahui keadaan di Yaman. Cerita sehari-hariku di Yaman sana membuat mereka betah mengobrol hingga larut malam. Bahkan diantara mereka ada yang sudah mendengar ceritaku hari kemarin. Tapi tetap saja tidak beranjak ketika aku menceritakan kisah yang sama untuk orang yang lainnya.
Di sela aku bercerita kepada mereka. Aku selalu menunggu kedatangan dia yang namanya disulam dalam sapu tangan ini. Tapi tidak kunjung datang, hingga akhirnya setelah tiga hari di rumah orang tuaku, aku memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya.
Orang tua dan semua keluarga yang lainnya mencegahku untuk menemuinya. Bahkan diantaranya ada yang memarahiku dan bersikeras agar aku melupakanya. Terang saja aku menolak, karena mereka tidak memberikan alasan yang jelas. Mereka hanya melarang, tapi hanya diam ketika aku tanya “Kenapa? Apa alasannya aku tidak boleh menemuinya?”
Aku memang mengerti, bahwa dia berasal dari keluarga yang tidak baik. Bahkan ibunya disebut-sebut sebagai sampah masyarakat. Mengotori dan mencemarkan nama baik kampung ini. Tapi tidak denganya, setahuku hanya ibunya yang seperti itu. Dia adalah pemuda yang baik. Apalagi setelah ibunya meninggal, dia bisa hidup mandiri tanpa bantuan siapapun. Karena semua keluarga menjauhinya, dulu sebelum aku pergi ke Yaman pun, memang Cuma akulah satu satunya orang yang sering mengobrol dengannya.
Semasa kecilnya dia sangat penyabar. Bahkan ketika dia di olok-olok karena tidak memiliki ayah. Apalagi ibunya bekerja sebagai perempuan malam yang biasa melayani laki-laki hidung belang.
Ketika dia bersedih karena di dihina teman sekolahnya waktu kecil, hanya akulah yang biasa menjadi temannya berbagi. Hingga saat menginjak remaja, aku tetap sering bersamanya. Dan sejak itulah, perasaan cintaku tumpah padanya. Dia yang tumbuh menjadi pemuda penyabar, pemaaf dan tentu saja memberikan kepercayaan serta cintanya padaku.
***
“Waaah! Ternyata dulu nenek adalah pecinta sejati”
Gadis cantik itu berkata pada neneknya yang duduk di kursi roda. Nenek itu tersenyum, kecantikannya dimasa lalu masih terlihat dari bentuk wajahnya yang tidak begitu jauh dari cucunya.
Rambutnya yang lurus sebahu, masih selalu disisir. Bulu matanya masih terlihat lentik alami, bukan buatan. Sendainya saja, wajahnya tidak keriput dan rambutnya berwarna hitam. Tentu akan sama cantik dengan cucunya.
“Nek, terusin dong ceritanya! Gimana waktu itu, nenek tetap nekad nemuin pacarnya?”
Gadis itu bertanya dengan pandangan yang sangat penasaran. Sementara itu, neneknya terlihat mengatur nafas. Sepertinya ada sebuah cerita mendalam yang ingin di ceritakan. Nafasnya terdengar berat, seperti ingin melepaskan beban. Setelah beberapa lama, akhirnya dia siap berbicara.
“Waktu itu, nenek bersikeras untuk mendatangi dia. Tapi sayang, ternyata dia sudah tidak tinggal disana. Tapi nenek tidak menyerah, karena setelah itu nenek terus mencari informasi tetang keberadaanya. Dan setelah beberapa minggu mencari, akhirnya nenek bisa bertemu dengan dia…”
Nenek itu langsung terdiam, kembali dia mengatur nafas. Sepertinya dia teringat pada sesuatu yang lebih berat lagi. Karena kini nafasnya lebih berat dari sebelumnya. Beban di dadanya seakan bersiap untuk meledak. Beban itu dia coba atur keluar dari mulut dan hidungnya yang kini dipakai untuk mengatur nafasnya.
Gadis itu hanya diam dengan tatapan yang sayu. Belum diceritakanpun, dia seperti merasakan sebuah kesedihan yang dialami neneknya waktu itu. Bahkan masih dirasakan neneknya walaupun sudah terjadi puluhan tahun silam. Nenek itu kemudian berbicara dengan sebuah tetesan air mata. Mengalir perlahan di pipinya yang keriput.
“Nenek selalu sedih jika ingat itu. Karena ternyata, dia memang sengaja menghidari nenek. Dia tidak ingin bertemu nenek lagi…”
“Ah nenek, gitu aja kok sedih. Kirain kenapa, oh iya kan waktu itu nenek masih muda. Jadi masih cinta mati sama dia ya nek, hehe”
Gadis itu menggoda neneknya. Mendengar itu, neneknya tersenyum sambil mengusap air matanya. Seketika itupun, sirna sudah beban yang sebelumnya terlihat sesak membebani dadanya. Kemudian dia terdiam sejanak dan melanjutkan lagi ceritanya.
“Bukan itu Sayaaaang. Kalo masalah itu sih nenek gampang melupakannya. Wong nenekmu ini waktu masih muda banyak yang naksir kok.”
“Lho! Trus apa dong nek?” Tanya Gadis itu dengan perubahan drastis di wajahnya. Kini rasa penasaran itu lebih jelas terlihat.
Sama persis dengan neneknya. Dia kembali merasakan kesedihan yang terlihat dari wajahnya. Merekapun terdiam sejenak. Neneknya kini bersiap mengembalikan ingatan yang akan di ceritakan pada cucunya itu.
“Lamaaa sekali waktu itu kami berbicara. Dan setelah nenek mendesak, akhirnya dia mau berbicara. Bahwa alasannya menghidari nenek akrena dia memiliki penyakit yang mematikan…”
Kata-kata itu terhenti sejenak. Dengan cepat air mata berjatuhan dari mata neneknya. Sementara itu, Cucunya terlihat berlinang air mata. Hanya sedikit sentuhan atau gerakan di tubuhnya saja, air mata itu sudah pasti terjatuh.
“Dia.. mengidap penyakit HIV yang waktu itu baru dikenal sebagai penyakit jenis baru, paling ditakuti dan tidak bisa disembuhkan. Bahkan banyak yang berkata bahwa itu adalah kutukan. Penyakit itu adalah penyakit turunan dari ibunya. Itulah yang membuat dia ingin pergi dan tidak ingin bertemu nenek lagi. Karena dia mencintai nenek dengan tulus. Dia tidak ingin penyakit itu menular pada nenek. Makanya tidak ingin melanjutkan hubungan yang rencananya hingga menjadi suami istri…”
“Neneeek….”
Pelukan dan tangisan cucunya menjadi sebuah ungkapan perasaaanya yang tak kuasa berkata kata lagi. Perasaan cucunya akan kisah itu begitu mendalam. Merekapun kini tidak bercerita lagi. Hanya isak tangis saja yang terdengar dari keduanya.
***
Suatu ketika di kamar neneknya. Selesai membereskan tempat tidur dan menyapu kamar, Gadis berpakaian putih itu menghampiri neneknya yang sedang memandang keluar. Dari balik jendela itu, terlihat pemandangan yang menyejukkan.
“Nek!…”
“Apa sayaaang?”
Dengan bahasa isyarat dari neneknya setelah berkata itu, cucunya langsung mendekatkan pipi sambil memeluk neneknya yang berada di kursi roda. Keceriaan itu biasa terlihat dari mereka berdua. Karena dia adalah satu satunya cucu kesayangan nenek itu. Bahkan kamarnya tidak mau dibersihkan oleh siapapun. Hanya cucunya itu yang dia inginkan selalu dekat bersamanya.
“Nek, Cerita lagi dong kisah cinta nenek dulu. Kan nenek belum cerita bagaimana bisa bertemu dengan kakek”
Spontan nenek itu terkejut mendengar permintaan cucunya. Keresahan terlihat begitu jelas dari mata dan reaksi di tubuhnya. Dia mencoba menghindar dari tatapan cucunya yang mulai merasakan keanehan.
“Kenapa nek? Kok jadi aneh begitu.”
“Ah! Gak apa-apa, nenek hanya sedang tidak ingin membicarakan saja saat ini. Tapi kamu memang harus tau juga ceritanya. Bukan hanya kamu, ayahmu juga harus tau ceritanya. Hanya saja, mungkin bukan sekarang waktunya yang tepat.”
“Nenek ada ada aja. Mendramatisir sekali ah. Hehe”
Gadis itu berkata dengan tatapan tajam ke arah neneknya. Sementara itu neneknya kembai menatap ke arah luar jendela. Dia sepertinya mengenang sesuatu. Karena melihat neneknya seperti ingin ditinggalkan sendiri saat itu, Gadis itupun berlalu tanpa berpamitan. Dia berjalan dengan sesekali menoleh ke arah neneknya yang diam mematung. Masih ada rasa penasaran yang dia simpan saja sementara itu. Tentang cerita nenek dan kakeknya jaman dulu.
Belum sempat keluar dari pintu kamat, Gadis itu dikagetkan dengan suara neneknya yang mulai berbicara. Gadis itupun menoleh, tapi neneknya masih menatap ke luar jendela. Tapi dengan jelas perkataanya ditujukan untuk dia.
“Kakekmu meninggal ketika ayahmu masih dalam kandungan…”
Gadis itu berjalan perlahan menghampiri neneknya. Sementara itu, neneknya tidak melanjutkan perkataaanya lagi. Gadis itu melihat neneknya memandang keluar dengan tatapan kosong. Air mata yang mengalir di pipi neneknya seperti tidak dirasakan lagi. Gadis itu kemudian duduk di samping kursi roda sambil memegang tangan neneknya, dia tetap saja memandang ke arah luar jendela.
“Nek, kenapa nenek tidak menikah lagi setelah kakek meninggal. Kan waktu itu nenek masih muda.”
Mendengar itu, neneknya langsung menoleh. Air matanya semakin deras bercucuran. Entah kesedihan apa yang dirasakannya. Cucunya hanya diam karena tidak mengerti yang neneknya rasakan. Dia hanya menunggu neneknya yang sedang menangis. Dan setelah sedikit reda tangisannya, neneknya mulai berbicara.
“Nenek tidak bisa membohongi perasaan nenek. Makanya tidak mau menikah lagi. Hati nenek masih mencintai dia yang terkena HIV itu. Jika menikah dengan orang lainpun, nenek takut hati nenek tidak bisa berpaling darinya. Karena meskipun hanya ada photonya saja. Dia masih tetap tinggal di hati nenek”
“Setelah kematian kakek, memangnya nenek pernah bertemu dia lagi nek?”
Mendengar pertanyaan itu, neneknya menatap tajam ke arah gadis itu. Sepertinya banyak cerita yang ingin disampaikan. Namun dia seperti menunggu saat yang tepat. Sepertinya nenek itu menyimpan sesuatu yang besar. Seperti sebuah rahasia yang tidak ingin diketahui siapapun.
“Dia sudah meninggal, bunuh diri menabrakkan mobilnya di perlintasan kereta api.”
Perkataan pendek itu membuat cucunya diam mematung. Neneknya hanya menatap dia dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Tatapan tajam yang menyimpan segudang rahasia. Tatapan itu seakan menerobos kedalam hati gadis itu. Seperti meraba dan mencari tau. Apakah cucunya sudah siap dengan rahasia yang ingin dia berikan.
“Sampai saat ini, fotonya yang dulu nenek bawa ke Yaman masih ada. Nenek simpan dengan baik. Tapi sebetulnya, dia bukan hanya fotonya saja yang tersimpan. Karena dia masih hidup didalam hati nenek. Nenek juga tidak pernah merasa kesepian. Seperti ditemani dia saja sampai sekarang”
Mendengar itu, cucunya langsung tersenyum dan beranjak dari tempatnya tadi. Kemudian dia berjalan sambil berkata kepada neneknya. Sementara itu neneknya hanya melihat sambil mengeryitkan dahi. Karena tidak tau apa yang dilakukan cucunya.
“Oh ya? Dimana nenek simpan foto itu? aku mau cari ah. Seganteng apa sih dia? Orang yang membuat nenekku tidak pernah menikah lagi.”
Nenek itu membiarkan cucunya sibuk mencari foto. Mencari di dalam lemari, tumpukan baju, dan beberapa tempat lain yang dikiranya pasti dia temukan foto tersebut. Neneknya kemudian berkata dengan air mata yang saat ini tidak berjatuhan. Hanya terlihat berlinang dan menunggu saat yang tepat untuk terjatuh atau dijatuhkan dengan sekali kedipan.
“Ada di laci lemari dekat cermin itu. Sudah saatnya kamu tau.”
Tanpa menoleh, Gadis itu langsung membuka laci pada sebuah meja rias yang ada cermin besarnya. Tepat sekali, begitu di buka, tumpukan perhiasan dan saputangan itu langsung terlihat. Tapi Gadis itu langsung mengambil sebuah photo yang berada paling atas dari semuanya.
“Nah itulah dia, kamu harus sabar ya sayaang…”
Neneknya berkata pendek, kemudian menatap reaksi cucunya. foto seorang pemuda tampan itu adalah foto pemuda yang dulu menjadi kekasihnya. Sayang sekali dia mengidap penyakit yang sangat mematikan.
Gadis itu tidak menghiraukan perkataan neneknya. Dia memegang foto itu didepan cermin. Dia terlihat diam mematung, lama sekali dia melihat foto tersebut. Sepertinya ada sesuatu yang dia pikirkan setelah melihatnya.
Setelah lama memandangi foto itu, kemudian dia melihat cermin dan kembali melihat foto tersebut. Dilakukannya berulang ulang, seperti tidak percaya dengan penglihatannya.
“Nek, kenapa begini. Mata… hidung, dan bibirnya sama persis denganku?”
“Itulah sayang, pemuda yang dulu kucintai dan mengidap penyakit HIV itu… dengan kakekmu yang meninggal saat ayahmu masih dalam kandungan. Adalah orang yang sama. Kamu harus sabar ya, karena…”
Perkataan neneknya terhenti. Karena cucunya terjatuh pingsan.
***
Satu bulan berlalu, kini perubahan besar terjadi antara nenek dan cucu itu. Kini mereka jadi jarang mengobrol, bermain atau bertegur sapa. Kini Gadis itu jarang terlihat di rumah, tidak seperti biasanya yang tidak pernah lama meninggalkan neneknya. Gadis itu sering pulang agak larut malam, saat neneknya sudah masuk ke dalam kamar. Sedangkan pagi harinya, dengan tergesa dia sudah berpamitan untuk pergi lagi.
Bukan hanya pada neneknya saja, gadis itu kini cenderung pendiam pada ayah dan ibunya. Adik dan kakaknya memang sedang kuliah di Jepang. Sehingga perubahan pada mereka tidak terlalu terlihat.
Suatu hari, gadis itu datang sekitar jam 4 sore. Dia terlihat lemas dengan wajah pucat. Neneknya yang berada di teras depan rumah langsung bertanya dengan cemas.
“Kamu kenapa sayang?”
“Gak apa apa nek, aku tadi abis donor darah. Kata mereka reaksi seperti ini biasa kok. Nanti juga pulih lagi..”
“Apa?!…”
Dengan nada setengah teriak neneknya berkata. Dia kaget karena mendengar cucunya mendonorkan darah. Cucunya spontan menatap neneknya yang duduk diatas kursi roda. Kemudian dia menghampiri neneknya perlahan.
“Kenapa kamu tega seperti itu? Kamu mengerti kan, dengan mendonorkan darah, artinya kamu telah menularkan…” kata-kata neneknya dipotong Gadis itu.
“Nek! Tunggu dulu penjelasanku. Nenek jangan khawatir. Semua baik baik saja, kok! Ayah dan ibu belum pulang kan? Trus dimana si bibi dan tukang kebun?”
Dia menenangkan neneknya yang terlihat gusar. Kemudian cucunya melirik ke sekeliling. Sepertinya dia ingin bicara, tapi tidak ingin ada yang mengetahuinya. Suaranya pelan sekali, nyaris berbisik.
“Ayahmu masih diluar kota. Ibumu belum pulang kerja. Sibibi lagi ke pasar”
Neneknya berkata perlahan, terbawa cara berbicara cucunya yang nyaris berbisik. Cucunya melihat ke arah tuklang kebun yang sedang membereskan pot bunga di depan mereka. Setelah memastikan tukang kebut tidak bisa mendengar, gadis itu kemudian mulai berbicara lagi.
“Nek. Sebetulnya sehari setelah mengetahui kakekku adalah ODHA, aku langsung cek darah untuk memastikan. Tapi rupanya, aku bukan ODHA. Makanya aku bingung, Nek. Dan sejak itu sibuk mencari tau, kenapa bisa seperti ini. Apakah aku bukan keturunan nenek? Atau mungkin aku bukan anak ayahku? Makanya aku terus memantau ibuku di kantornya. Bisa jadi dia punya pacar? Tapi sayang, aku belum bisa mendapatkan sampel darah dari ayah dan ibu.”
Neneknya terdiam. Dia tersenyum bahagia, namun cepat sekali berubah. Karena tidak mengerti dengan keadaan seperti itu. Lama dia berfikir, cucunya bertingkah sama, keduanya mencari tau penyebabnya.
“Tapi rasanya tidak mungkin, jika aku bukan anak ayah. Kenapa kakek sangat mirip denganku…mmm.. tapiiii…..”
Tiba-tiba neneknya seperti mendapatkan sebuah pencerahan yang membuat matanya kian bersinar terang. Dia dengan bersemangat berkata.
“Antar nenek sekarang ke kamar. Ayo!.. cepaaat!”
Seperti lupa akan kondisi badannya yang masih lemas dan pucat. Gadis itu dengan bersemangat mendorong kursi roda neneknya. Sebuah kekuatan baru datang dengan tanpa di duga-duga. Neneknya terlihat dengan tidak sabar untuk sampai di kamarnya.
“Nah kesana dekat meja rias”
Neneknya berkata dengan bersemangat sambil menunjuk ke tempat dia menyimpan foto itu. Gadis itu dengan segera mendorongnya. Kini mereka sudah berada tepat di depan meja rias. Neneknya dengan segera membuka laci.
“Laci ini sejak kakekmu meninggal. Baru kamu yang pertama membukanya. Karena nenek tidak kuasa lagi melihat fotonya. Nenek baru ingat, beberapa orang yang menolong kakekmu waktu di perlintasan kereta api itu berkata. Bahwa kakekmu berkata sapu tangan. Dan perkataan itu diucapkan beberapa kali kepada mereka.”
Ketika laci itu  terbuka, sebuah saputangan diambilnya. Dan tepat di bawah saputangan itu ada sebuah kertas usang berwarna kecoklatan. Sepertinya semula kertas itu berwarna putih. Hanya saja sudah terlalu lama tersimpan disana.
Kertas itu adalah sebuah keterangan dari dokter. Bahwa seorang pria yang telah diperiksa itu negativ mengidap HIV AIDS. Surat itu nyaris sama seperti yang dimiliki gadis itu. Keterangan yang membuatnya jelas kini, bahwa mereka tidak mengidap virus tersebut.
“Neek…Neneeek…” Gadis itu memeluk neneknya yang lemas diatas kursi roda. Sepertinya dia begitu terguncang dengan apa yang baru di ketahuinya tersebut.
***
Lebaran kali ini sungguh berbeda. Keluarga itu merasa ada sesuatu yang lebih membahagiakan. karena telah mengetahui sesuatu yang baik yang sejak lama tersimpan. Seakan menjadi rahasia yang sengaja disimpan begitu lama, dan sesungguhnya semua itu memang membahagiakan mereka semua.
****O****

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan sopan dan tidak Spam.... kalau tidak punya akun blogger silahkan pilih Name / URL isikan nama dan email juga bisa, atau kosongkan URL. Mohon maaf Live Link, langsung akan saya hapus.

.