Home » » Tangisan Langit Untuk Indonesia

Tangisan Langit Untuk Indonesia

http://www.blingcheese.com/

Malam menyambut pagi. Cahaya bulan yang tak nampak sejak matahari bersembunyi, kini telalu terlambat untuk menerangi lagi. Karena matahari telah bersiap menghadiri apel paginya. Terlihat cahaya itu bersinar kuning dibalik gunung, menerangi hutan yang basah berselimut embun pagi.

Entah ada apa lagi hari ini. Baru saja matahari itu beranjak dari tidurnya, sambutan gerimis kembali hadir dalam dinginnya pagi ini. Awan gelap telah bersiaga memeras gumpalan hitam di sekujur tubuhnya, tuk menyiram kembali seluruh permukaan di bawahnya. Cahaya mentari kembali meredup seakan enggan menerangi lagi, sama seperti kemarin, serupa dengan beberapa hari sebelumnya.

Hutan yang kedinginan, kembali harus berjuang menjalani hari ini. Melawan cuaca yang tak menentu, diantara iklim bersahaja yang mulai tidak bersahabat lagi. Permusuhan ini tidak ada sebelumnya, perlawanan ini pun bukan sebuah penolakan sesuatu. Semua berjalan dengan sendirinya. Tak ada yang mereka ciptakan, bukan permusuhan antara alam dan matahari.

****

Jauh di sebelah sana, sebuah desa diselimuti kepedihan. Tentang gempa yang memporak porandakan kehidupan, tentang ombak yang berkeliaran di daratan, tentang gunung yang muntahkan amarah di dadanya. Semua seakan sebuah protes, demonstrasi alam yang kian hari semakin tak bersahabat lagi.

Penghuni desa dan tetangganya, lari kencang menghindari amukan alam. Namun tak ayal beberapa diantaranya menjadi korban. Yang tenggelam di dalam air yang ganas, yang tertimpa di dalam reruntuhan, juga mereka yang terkubur lumpur secara perlahan. Apakah benar semuanya korban? Ataukan ini tumbal? Dan untuk persembahan apa semua ini terjadi?.

Keadaan desa menjadi hening. Petani kampung kini tak lagi berada di ladang dan sawah mereka. Nelayan pun belum terlihat mendayung di atas perahunya. Semuanya kini berada di pemakaman, iringan tangis mereka tak bersuara. Dalam doanya yang sangat dalam, doa untuk mereka yang telah tiada.

****

Tersiar kabar di kota sana, banjir bandang menerjang mereka, dalam tidurnya yang tak nyenyak lagi. Karena sungainya telalu kotor, karena paritnya terlalu sesak dengan gumpalan sampah. Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang memiliki kepedulian?. Sepertinya lepas tangan dan memalingkan wajah, menjadi bahasa yang akrab bagi sebagaian diantara mereka.

Ketika hujan melebihi batas waktu yang diperkirakan, penghuni kota mulai di rajang kecemasan yang sangat. Tentang luapan air sungainya yang disesaki kotoran mereka sendiri, tentang resapan air yang nyaris tak ada lagi. Semua adalah ulahnya? Ataukah semua telah ada yang merencanakan. Seakan misteri bahwa mereka ingin ada dalam hidup yang nyaman. Misteri tentang kapan itu bisa diaraih. Misteri tentang aman dan nyaman yang entah kapan.

****

Musim hujan berkepanjangan ini, sepertinya melebihi musim yang sama pada tahun yang lalu. Tetesan air di negeri ini, adalah tangisan langit untuk indonsiaku ini. Sang langit seakan tak kuasa menyaksikan, semua kebodohan orang orang pintar dan terpelajar itu. Langit sepertinya tak nyaman lagi melihat penghuni yang ada di bawahnya.

Ketika itu, kelaparan terjadi diantara sumber makanan yang melimpah. Gizi buruk yang ada diantara sekian makanan istimewa yang di hidangkan. keringat pekerja yang di minum para penguasa yang haus kekuasaan. Busung lapar dengan perut buncit, yang berdampingan dengan si buncit yang berdasi.

Konon katanya, penyiar agama menjadi keresahan pemeluk agamanya sendiri. Perdebatan panjang dan baku tikam. Hingga meledakkan menjadi alasan sebuah pembenaran membela kebenaran. Si sesat dan si lurus berperang diantara warga yang rentan terprovokasi. Pergunjingan dan saling mencaci menjadi wabah baru para pemeluk agama. Bahkan yang tidak beragama pun turut memeriahkan.

Kabarnya, pendidikan yang tidak mendidik sepertinya menjadi wacana yang hangat dibicarakan, diantara para pemikir pendidikan. Hingga lahirlah sekelumit permasalahan tentang pendidikan itu sendiri. Ujian yang tidak menguji, Ujian yang menjadi kebohongan dan rekayasa baru dalam penyelenggaraannya. Alhasil, mendidik tidak benar menjadi sebuah cara baru demi tercapainya kelulusan sebuah ujian.

Sang Langit mulai meneteskan air mata. Ketika melihat para penguasa yang semakin haus kekuasaan. Segala fasilitas mewah telah direncanakan untuk tempat beristirahat siangnya. Peristirahatan panjang menjelang persidangan selesai. Disaat yang bersamaan penghuni pinggiran kota dengan kekumuhannya terlihat mengais sampah yang tersisa. Untuk sekedar menyambung hidupnya yang kian suram itu.

Langit kini menangis tersedu. Menyaksikan para pengumpul upeti dengan kendaraan angkuhnya yang mentereng. Hilir mudik dengan dada dibusungkan, yang kemudian lari kencang membawa sekian upeti yang telah dikumpulkan. Sesaat setelah pemberi upeti hangus terbakar dalam peperangan memperebutkan omong kosong. Karena haknya adalah omong kosong, karena harapannya adalah hayalan belaka. Pemberi upeti pun terkubur dengan tanpa pangkat dan penghargaan apapun. Hanya menjadi mayat yang tak berguna. Itu saja.

Dikemudian hari tersiar kabar, burung raksasa jatuh berkeping keping. Dari penerbangannya yang kesekian kali. Dari kerusakan sebelumnya yang tak di perdulikan lagi. Kesadaran akan nyawa semakin lemah, seakan dapat di beli dengan setumpuk emas permata. Karena berlian dan segala jenisnya seperti mudah untuk di dapat. Sehingga pernah dihibahkan untuk para penjahat dilautan sana.

Sang langit semakin tak kuasa menahan tangisnya. Karena kesadaran akan nyawa tidak terlihat lagi. Sungguh lebih baik mencegah daripada mengobati? Namun kini kalimat itu jadi berbalik, ungkapan itu menjadi seperti ini : Melupakan lebih baik dari pada mencegah dan mengobati.

Wahai langit! Jika hujan ini adalah caramu membersihkan dosa kami. Basuhlah kami hingga kembali menjadi putih dan suci, seperti terlahir kembali. Dengan segala harapan dan usaha kami untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
***O***

5 comments:

  1. baca sampai habis. gambaran fenomena yang sedang terjadi, bahasanya lugas namun ringan. terimakasih, bacaan pagi yang menyegarkan. salam. Dede Supriyatna

    ReplyDelete
  2. salam kang Dede.

    ini kan Kang Dede yang dari rangkat itu bukan ya?

    makasi ya sudah berkunjung

    ReplyDelete
  3. hmmmm...baca tulisan mas Roni, selalu enak....
    ibarat makan sayur, pas rasanya hehehee......

    ReplyDelete
  4. iya, makasih juga sudah berkunjung

    ReplyDelete
  5. Salam Bunda....

    hahhaha hihi sukurlah kalo enak citaranya hihiihihihi

    kang Dede sama sama ya. saya selamt sore....

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar dengan sopan dan tidak Spam.... kalau tidak punya akun blogger silahkan pilih Name / URL isikan nama dan email juga bisa, atau kosongkan URL. Mohon maaf Live Link, langsung akan saya hapus.

.