Home » » Diwarisi Tanah Kematian

Diwarisi Tanah Kematian


Gambar : http://3.bp.blogspot.com/-


Sejak seminggu yang lalu Tete memberi kabar, dia akan datang ke Manado. Beberapa hari yang lalu, memang kami banyak melihat berita di televisi. Tentang penembakan yang terjadi di tanah kelahiranku. Aku hanya sekolah hingga lulus SD di Papua. Karena ayahku tinggal di Manado semenjak dia Memiliki usaha percetakan disini.

Biaya hidup di Manado lebih terjangkau jika dibandingkan dengan biaya hidup di Papua. Entah karena berdekatan dengan pemukiman pekerja tambang atau kenapa? Karena menurut ayahku. Biaya kehidupan disana memang sudah hampir tidak bisa terjangkau lagi untuk keluarga kami, karena ayahku hanya bekerja sebagai pekerja honorer di kantor kecamatan.

Entahlah? Ayahku terlalu bodoh atau jujur? Karena sepertinya teman-teman ayahku banyak yang hidup dengan keadaan yang lebih dari cukup. Bahkan sempat beberapa kali bertemu waktu mereka berlibur ke Bunaken. Dan hingga sekarang mereka  masih honorer, bukan PNS.

Ketika Tete datang, Kami semua sudah bersiap menjemputnya di Bandara Samratulangi. Ayahku sengaja menyewa Oto untuk menjemput Tete. Padahal dia cuma sendiri saja,  ayah khawatir Tete akan datang dengan bawaan yang banyak. Selain itu, ayah akan langsung mengajak Tete berjalan jalan dulu sebelum ke rumah. Karena pertama kalinya Tete pergi meninggalkan Papua.

Dulu, ayahku punya Oto, tapi sejak banyaknya orang  yang membuka percetakan disini. Percetakan ayahku menjadi kurang orderan. Sepertinya memang orang lain memiliki bahan yang lebih bagus dan kualitas kerja yang lebih baik dari ayahku, selain itu mereka bisa memberikan harga yang lebih murah. Beruntunglah aku sempat lulus kuliah. Setidaknya aku memiliki ijazah untuk melamar pekerjaan.

Saat aku melihat Tete di bandara, aku terkejut. Spontan air mata menetes perlahan, mengalir di pipiku terasa hangat. Ternyata Tete sudah tidak seperti di ingatanku, dia lebih kurus dan terlihat tua saat ini. Padahal, seingatku dulu badannya tegap, dengan otot yang masih terlihat kekar. Tapi tidak kali ini, Tete berjalan sedikit membungkuk, dengan keriput dan rambut putih yang menghiasi senyumannya.

Sekilas aku bertanya dalam hati. Kenapa Tete tidak memakai kemeja yang lebih baik dari yang dipakainnya sekarang? Ataukan dia sudah tidak bisa lagi membeli baju baru yang bagus. Karena saat ini, kemeja yang dipakainnya nampak lusuh dan sudah usang sekali. Aku menghibur diriku sendiri, dengan menganggapnya sebagai cara agar terhindar dari aksi pencopetan. “Tete pasti sengaja memakai baju yang terlihat lusuh“.

Aku masih ingat suara Tete dengan jelas, memang tidak terlalu jauh dengan sekarang. Saat dia memelukku, aku tak kuasa lagi menahan air mata yang semakin deras berjatuhan. Dalam pelukan itu, aku dapat menyentuh tulang punggungnya. Terasa sangat dekat, hingga sejenak aku lupa bahwa dulu kakek berbadan tegap dan gagah sekali. Dulu Tetebisa mengangkatku dengan tangan kirinya saja. Entahlah sekarang? Karena dengan kedua tangannya pun, sepertinya dia tidak akan sanggup lagi. Bukan hanya karena aku sudah besar sekarang, tapi tubuh Tete sepertinya memang rapuh sekali saat ini.

“Kamu sudah besar Yosi”

Tete berkata perlahan. Dia menepuk pundakku, air matanya terasa menetes di bahu kananku. Aku tak sanggup berkata kata lagi. Ingin rasanya terus memeluk Tete, karena memang sudah begitu lama tak bertemu. Sepintas terbayang di benakku. Masa kecilku yang penuh dengan permainan bersama Tete. Aku sering sekali ikut Tete berburu ke Hutan. Bersama Ngrembu, Anjing milik Tete yang telah mati beberapa tahun yang lalu.

Saat Tete melepaskan pelukannya perlahan. Aku bisa dengan jelas menatap wajahnya, kumisnya yang berwarna putih, tidak terlalu panjang, namun aku bisa melihatnya dengan jelas. Diantara keriput pipi yang sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Tete memang sudah tua sekarang.

Beberapa saat kami mengobrol, hingga ayahku memberi komando untuk segera berangkat. Dan ternyata Tete tidak membawa barang apapun. Hanya pakaian yang di bawa di kopernya saja. Aku bisa memahami, Tete memang sudah tidak bisa lagi membawa barang yang terlalu banyak, hanya koper dan sekantong plastik buah Matoa yang di bawa  di tangan kanannya saja.

Aku memang suka buah Matoa, seketika itupun aku merebutnya. Sekilas aku dapat melihat, Tete tersenyum dengan pandangan yang kosong, Aku bisa merasakan bahwa dia mengenang masa kecilku bersamanya. Kala musim Matoa berbuah, kami memang sering mencarinya di hutan, dan hanya membawa beberapa saja ke rumah. Karena tepat di samping rumahku juga  ada pohon itu. Kami mengambil ke hutan hanya sebagai kesenangan tersendiri saja. Bukan mencari buah Matoa sebagai tujuan utama.

Saat berada di dalam Oto, ayah menyetir dan Tete duduk di bangku depan. Aku bisa mendengar obrolan mereka yang membicarakan keadaan disana. Tidak terlalu jauh seperti yang ada di televisi, ternyata disana keadaan semakin memburuk. Bahkan kedatangan Teteke Manado ini memang untuk tinggal disini. Aku merasa senang, bahkan kami sejak lama mengajak Tete untuk tinggal bersama di Manado. Tapi Tete selalu menolak, dengan alasan masih ingin tinggal dan dikubur di tanah kelahirannya.

Sesekali aku melihat Tete mengangguk dan mengelengkan kepala. Di sela obrolannya, Tete memang masih seperti dulu. Menggerakkan badannya atau bagian badannya, kemudian berkata. Terkadang aku melihatnya begitu bijak, karena selalu memikirkan dulu apa yang akan dikatakannya. Tak salah dia  selalu  menjadi sosok yang di tuakan di Desa kami dulu.

Berikutnya Tete bercerita tentang perjalanan pertamanya menggunakan pesawat. Katanya cukup lelah karena harus transit di Ujungpandang. Memang tidak ada pesawat langsung dari Jayapura ke Manado. Sehingga Tete harus transit di Ujungpandang dan menunggu pesawat yang kan terbang ke Manado. Beruntunglah ada teman sebangkunya yang satu tujuan, sehingga dia bisa merasa tenang. Dan orang itu adalah pemuda yang tadi berpamitan sesaat setelah kami bertemu di bandara.

Setelah hampir setengah jam kami berputar putar di daerah sekitar Bunaken, ayahku terlihat merogoh saku kemejanya. Tepat seperti dugaanku, ibu menelpon dan menanyakan keberadaan kami. Seketika itupun, ayah berkata bahwa kami akan segera pulang. Karena ibu telah selesai memasak untuk menyambut kedatangan Tete.

Sesampainya di rumah, ibu telah bersiap dengan senyuman menyambut kedatangan Tete. Beberapa saat kemudian, setelah kami turun dari Oto, aku langsung teringat akan begitu jeleknya wajahku ketika menangis. Karena aku melihat ibu menangis seperti anak kecil, ketika melihat kami menghampirinya. Mungkin seperti itulah aku terlihat ketika di bandara tadi.

Ibu dan Tete hanya mengobrol sebentar, karena kemudian dia mengajak kami untuk makan bersama. Entah Tete berbasa basi saja? Atau memang seperti itu adanya. Dan itu membuatku kembali berlinang air mata. Tete berkata bahwa sudah lama tidak melihat masakan selengkap ini. Dia hanya makan seperti ini beberapa tahun yang lalu. SebelumNene meninggal.

Semakin lengkap rasanya air mataku berjatuhan. Ketika Tete terlihat makan dengan lahapnya, kami juga sama, memang lapar karena belum makan siang. Tapi melihat kakek dengan lahapnya makan, aku dan ayahku sempat berhenti sejenak ketika akan mengambil ikan yang telah dihidangkan. Sepertinya ayahku juga merasakan hal yang sama, sedih tapi merasa cukup tenang, karena Tete sekarang sudah ada bersama kami.

“Ada apa dengan kalian? Mari makan bersama!”

Kakek sepertinya menyadari, bahwa kami memperhatikannya. Dia menghentikan suapannya dan melihat ke arah aku dan ayahku. Seperti terhipnotis, kami  serempak mengambil ikan yang sama. Kakek tertawa dan menegur kami supaya jangan berebut.

“Yosi, kamu adalah satu satunya keturunan Tete. Karena pamanmu dulu belum sempat menikah sudah terbunuh. Dia memang keras kepala, Tete sudah melarang untuk bekerja di tambang Emas. Sehingga itulah resikonya, entah kecelakaan atau sengaja dibunuh, karena memang kami tidak sempat melihat mayatnya. Dan ayahmu ini hanya punya anak satu saja.Tete hanya punya harapan padamu satu satunya untu meneruskan keturunan..”

Entah kenapa Tete berkata seperti itu. Dia kemudian minum air putih dan sepertinya bersiap untuk bicara lagi. Aku mengambil ikan perlahan, begitupun dengan ayahku yang sepertinya bersiap mendengarkan perkataan Tete. Disela mengambil ikan itu, ayahku sesekali menoleh ke arah Tete. Kemudian Tete berkata lagi.

“Dulu waktu kamu masih kecil, Tete berharap bisa mewariskan semua yang Tete miliki untukmu. Tapi sayang, Sepertinya semua percuma saja. Karena tanah yang Tete miliki sekarang, sudah menjadi tanah Kematian. Dulu si Ngrembu saja mati karena makan tikus yang hidup di tanah keluarga kita. Semuanya memang sudah tercemar. Anjing saja mati, apalagi kita manusia. Limbah tambang itu memang berbahaya. Bahkan ilalang saja tidak bisa tumbuh disana

“Sudahlah ayah, Lupakan saja masalah itu. Mari kita lanjutkan saja makan besar kita ini!”
Ayahku berkata sambil mendekatkan piringnya yang sudah terisi makanan. Kemudian dia mulai makan sambil melihat kearahku, memberi isyarat untuk segera makan. Dengan segera aku mengikutinya, dan kamipun mulai makan bersama. Tete tidak bicara lagi ketika makan pada saat itu.
***O***
Tete, Nene = Kakek, Nenek
Oto = Mobil
Ngrembu = Nama hewan peliharaan

1 comments:

  1. sungguh prihatin

    semuanya sudah tercemar,,,salah siapa??

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar dengan sopan dan tidak Spam.... kalau tidak punya akun blogger silahkan pilih Name / URL isikan nama dan email juga bisa, atau kosongkan URL. Mohon maaf Live Link, langsung akan saya hapus.

.