Home » » Reshaffle dan Omong Kosong Politikus Gagal

Reshaffle dan Omong Kosong Politikus Gagal

jactpost.com

Amoy adalah politikus gagal yang kini terpuruk karena usahanya terkena tipu. Modal besar yang telah dia keluarkan tidak kembali lagi. Dan sialnya modal besar itu adalah pinjaman dengan anggunan semua omset perusahaan yang dibangunnya dari kecil.

Semula, Amoy memang optimis menjadi seorang mentri atau apapun yang berhubungan dengan perekonomian. Karena dia memang pandai dan sangat menguasai perekonomian. Bahkan di kampusnya dulu, dia selalu menjadi rujukan bagi siapapun yang memiliki kendala dalam perusahaannya. Tepatnya, dia telah menjadi konsultan kacangan yang telah diakui kredibilitasnya. Sayang sekali dia terganjal dengan status kewarga negaraan di negeri Dakocan ini.

Konon katanya negeri dakocan ini adalah negeri yang subur makmur. Ibaratnya menanam padi tumbuhlah emas. Bahkan menanam rumputpun jadi makanan siap saji. Singkatnya, kesejahteraan itu sepertinya tidak perlu  lagi dipertanyakan. Karena sumber kehidupan sudah begitu lengkap tersedia. Tidak kurang apapun untuk hidup dan penghidupan. Namun entah kenapa masih saja permasalahan kesejahteraan itu masih jauh untuk diraih. Karena masih saja terdengar kelaparan ditengah begitu sibuknya orang lain mengurangi berat badan.
***
Suatu ketika, Amoy seharian tidak keluar kamarnya. Dia menongton televisi sambil mengernyitkan dahinya. Dia tidak tersenyum hari itu hanya mencibir dan beberapa kali memindahkan saluran televisi saja. Sepertinya dia menyaksikan sesuatu yang sangat mengganjal di hatinya.

“Kamu lagi nongton apa si Moy?”

Supri yang sedetik yang lalu membuka kamar kos Amoy berkata. Dia tidak masuk ke dalam, hanya memasukkan kepalanya saja dari pintu yang hanya di buka seperempatnya saja. Amoy menoleh, kemudian dia tersenyum setengah terpaksa. Karena dia tau Supri adalah orang yang kurang wawasan. Sehingga dia menyadari bahwa Supri tidak akan mengerti apa yang akan dia jawab.

“Aku lagi nonton berita tentang Reshuffle” Amoy menjawab pendek, kemudian dia kembali serius menonton televisi.

“Ooh! Group band baru itu ya? Waah aku ikut nongton ya. Karena TV punyaku lagi di servis kena petir kemarin”

Mendengar perkataan Supri itu, spontan Amoy kembali menoleh ke arah Supri. Dengan jelas Supri telah terlihat berdiri di tengah pintu kostnya. Supri telah membuka pintu dengan lebar sekarang. Tepat sekali seperti yang di duga Amoy sebelumnya, memang Supri terkadang sok tau dan dengan tingkahnya itulah dia sesekali membuat tertawaan yang tidak disengaja dibuatnya. Tepatnya dengan keluguannya itulah Supri bisa membuat orang lain tertawa.

Tanpa menunggu jawaban dari Amoy, kini Supri telah duduk disamping Amoy. Dia terlihat bingung dengan yang dilihatnya di televisi. Kemudian dia menoleh ke arah Amoy yang sedang duduk. Supri lebih bingung lagi karena melihat Amoy yang sepertinya sangat serius dengan apa yang dilihatnya.

“Wah acara apa ini Moy? Kok banyak orang malah ngobrol aja?”

“Diam ah aku lagi patah hati nih!” Amoy berkata sekenanya saja.

“Sama siapa Moy? Sama si Roni itu ya? Yang Gimbal itu?”

“Bukan?”

“Trus ama siapa dong?”

“Aku patah hati sama presiden”

“Lah kok bisa? Jadi pacarmu sekarang ada dua ya? Hebat kamu pacaran ama presiden. Waah, nanti aku masukin jadi PNS ya kalo kamu dah nikah ama Presiden”

Amoy sepertinya terganggu dengan ocehan Supri. Dia menarik nafas panjang, biasanya Supri memang selalu bertanya jika dia belum mendapatkan jawaban yang bisa dipahaminya. Amoy kemudian berfikir sejenak untuk mencari penjelasan sederhana yang bisa dipahami oleh Supri.

“Begini, aku bukan patah hati seperti itu. Tapi begini, aku kecewa karena presiden akan memilih susunan mentri yang akan membantunya memimpin Republik Dakocan ini.”

Dengan ragu Amoy berkata, dia sepertinya memperhatikan Supri agar dia mengerti dan tidak bertanya kembali. Sejenak mereka terdiam. Supri sepertinya memikirkan sesuatu, kemudian dia berkata dengan nada yang sangat jelas.

“Hmm! Memilih Mentri itu kan hak preogratif Presiden. Ngapain kamu mesti patah hati dan ikut campur? Sedangkan Partai Politik saja kan tidak bisa ikut campur dan memberikan Intervensi. Jadi kamu kan gak bisa ngapa-ngapain lagi kok.”

“Haaah!” Mendengar perkataan Supri itu Amoy melotot. Dia tidak menyangka Supri berkata seperti itu. Kemudian Amoy berkata dengan tatapan tajam ke arah Supri.

“Kamu tau dari mana itu?” Dengan sangat penasaran Amoy bertanya.

“Baru saja aku dengar itu di televisi, makanya aku masih hafal kata-katanya”

“Ooh gitu ya?” Dengan menghembuskan nafas panjang, Amoy berkata itu. Dan Amoy yakin sekali bahwa apa yang dikatakan Supri itu tidak dipahami semuanya.

“Trus Moy, kalo Mentri sudah di ganti, nanti harga cabai bisa turun ngak ya? Dan banyak kompor gas yang meledak lagi nggak?”

Tepat sekali apa yang diperkirakan Amoy. Supri memang tidak memahami yang dikatakannya. Amoy kemudian tersenyum sendiri, karena semula tadi. Dia memperkirakan bahwa selama ini Supri hanya berpura pura bodoh saja. Tapi ternyata Supri memang tidak memahami semuanya.

Amoy memang baru beberapa minggu saja tinggal di tempat itu. Dan satu satunya teman yang sering mengobrol dengannya disana adalah Supri. Karena dia memang setiap hari selalu terlihat disana. Sebagai petugas kebersihan di kosan tersebut, Supri juga bisa membantu bapak kos berjualan nasi goreng. Dan di tempat itu juga Supri dan Amoy sering mengobrol. Supri terkadang memang menjadi hiburan tersendiri buat Amoy, karena sering bertingkah konyol karena ketidak tahuannya.

“Begini ya Pri, bagaimanapun juga antara Mentri dan harga cabai memang berhubungan. Tapi terlalu jauh untuk dihubungkan seperti itu. Yang jelas sih aku kecewa dengan pilihan kebijakan Presiden dalam Reshuffle itu, dan…”

“Nah ini yang aku gak ngerti. Kenapa mesti kecewa sih? Cemberuuut aja dari tadi pagi” Supri memotong perkataan Amoy sambil mengernyitkan dahinya.

“Ya itu penyebabnya. Gimana ya aku menjelaskannya? Yang pasti sih sepertinya lebih baik yang di Panggil ke Gunung Wayang untuk menjadi Calon Wakil Mentri itu kenapa dari Parpol bukan dari oran yang independent dan sudah profesional yang,,,”

“Stop! hehe aku tau kenapa kamu tidak setuju dari parpol. Pasti karena perusahaan percetakanmuyang bangkrut waktu itu kan. Karena belum di bayar orderannya. Iya kan? hehehe”

Sambil mengacungkan jari di hidungnya sendiri, Supri memotong perkataan Amoy sambil terkekeh. Dia memang mengetahui bahwa perusahaan Amoy bangkrut karena ikut tender pengerjaan kaos dan  beberapa merchandise salah satu Partai Politik. Hingga Amoy kini tinggal di kosan yang disewanya dua ratus ribu perbulan. Karena tempat usaha dan rumahnya disita Bank Monopoli. Beruntunglah dia masih memiliki simpanan uang di titipkan di Bosnya Supri. Yaitu pemilik kos-kosan yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.

Mendengar perkataan Supri yang masih terkekeh sambil menggerak gerakkan jari di depan muakanya sendiri, Amoy terdiam dan menatapnya. Dia sepertinya kehabisan kata untuk berbicara pada Supri sekarang. Amoy kemudian bersiap untuk berkata lagi. Namun, pemilik kos memanggil Supri. Dia menyuruh supri pergi ke pasar untuk membeli bahan jualan nasi goreng nanti malam.

“Eh ngobrol apa sama Supri tadi Mba Amoy?” Setelah Supri pergi, pemilik kos itu bertanya.

“Ah enggak apa-apa, cuman ngobrol biasa aja” Amoy berkata sambil mempersilahkan pemilik kos yang bernama Ulil itu masuk.

“Hmm! Kasian dia itu Mba Amoy. Dulu padahal dia pintar dan cukup terpandang di Desa. Sayang sekali sejak dia gagal dalam pencalonan Anggota DPRD jadi kayak gitu. Dia stres berat karena sudah mengeluarkan semua hartanya untuk kompanye. Tapi sayangnya tidak terpilih.”

“Oooh gitu ya? Tapi sepertinya dia normal aja ya kalo bicara?” Sambil manggut manggut pertanda memahami Amoy berkata.

“Itulah, makanya dia pindah kesini karena memang banyak hutang juga di desanya. dan saya mengira dia hanya berpura pura saja seperti itu. Karena hutangnya waktu kompanye memang banyak sekali. Dengan cara seperti itu mungkin dia bisa lolos dari jeratan hutang.”

“Oooh! Iya saya mengerti kalo begitu”

Setelah itu, tak lama pemilik kos berpamitan. Amoy kemudian kembali ke depan televisinya. Tapi kali ini dia tidak menonton. Dia merebahkan badan dan menatap ke langit-langit kamarnya. Sepertinya banyak sekali yang dia fikirkan saat itu.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan sopan dan tidak Spam.... kalau tidak punya akun blogger silahkan pilih Name / URL isikan nama dan email juga bisa, atau kosongkan URL. Mohon maaf Live Link, langsung akan saya hapus.

.