Tak asing lagi rasanya dengan istilah Divide et impera . diantara kita pasti telah mengenalnya waktu sekaloh dengan istilah tersebut. Dimana Belanda pada waktu itu mempraktekkan Politik pecah belah, dengan tujuan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan.
Saat ini Belanda memang tidak menjajah Indonesia seperti waktu dulu. Namun entah kenapa perpecahan itu masih ada dan masih terjaga. Apakah ini merupahan warisan yang turun menurun sejak dulu atau hanya dikarenakan perbedaan di Indonesia itu sendiri, entahlah, yang jelas sampai detik inipun belum ada presiden yang paling Indonesia banget. Sehingga bisa memimpin dengan mendapat dukungan dari semua kalangan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Dan itu memang hal yang wajar, toh perbedaan itu menjadi hal yang wajar dan menjadi fitrah kita sebagai manusia yang berbeda antara satu dan lainnya.
***
Berikut ini adalah ungkapan yang sepertinya sudah melekat dan Indonesia banget, namun tidak baik dan perlu segera di hilangkan. Karena ungkapan tersebut adalah salah satu contoh yang sepertinya akan merujuk pada perpecahan.
Saya bukan orang “Anu” padahal tinggal di pulau “Anu”.
Aneh rasanya ketika kita menyimak dialog antara seorang gadis dan pemuda di Sulawesi seperti ini :
“Ooh! Mas ini bukan asli Sulawesi toh? Pantasan saja logatnya bicaranya kok beda sama kami. Ternyata orang Jawa toh?”
“Ya saya bukan asli dari Sulawesi, tapi jangan panggil saya Mas karna saya bukan orang jawa. Saya aslinya dari Bandung, panggil saja saya Aa atau Akang”
Begitulah dialog diatas sepertinya sudah lumrah dan bukan hal yang aneh lagi, bahkan orang-orang yang tinggal di pulau Jawa sepertinya sudah mengenal ungkapan seperti itu. Apakah itu termasuk warisan dari jaman penjajahan Belanda sebagai salah satu manifestasi dari Divide et impera ?. Yang jelas pada waktu itu Negara Belanda tidak bodoh. Mereka menggunakan antropolog, sejarawan dan ilmuwan humaniora terbaik yang ada di seluruh negaranya untuk dipekerjakan meneliti watak khas orang Indonesia, sebelum mereka mengimplementasikan sebuah kebijakan Divide et impera .
Selain yang seperti dialaog di atas, ada juga orang yang tinggal disulawesi namun tidak begitu nyaman sepertinya jika disebut orang Sulawesi. dan ada pula orang Sumatra yang tidak mau disebut orang Sumatra. Bahkan alasannya adalah “kami ini bukan orang sumatra. Karena kami bukan orang Indonesia. Indonesia itu kan yang di jajah Belanda, sedangkan kami tidak merasa di jajah oleh Belanda. Kami di jajah oleh Portugal”. Hmmm! Rasanya ini ungkapan yang cukup extreme.
Apakah OTDA menuju pada perpecahan juga?
Sejak tanggal 1 Januari 2001 yang diatur Undang Undang No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi daerah dilaksanakan, apakah didalamnya merujuk pula pada perpecahan? Seharusnya tidak, karena memang itu dimaksudkan agar diraihnya keadilan dan kemakmuran rakyat di semua bagian negara berdasarkan potensi dan keanekaragamannya tanpa meninggalkan prinsip kesatuan Republik Indonesia
Menyimak hal tersebut saya sempat berfikir sekilas dengan ungkapan “apakan ini yang disebut otonomi” ketika melalui jalan darat dari Pangkalambun Kalimantan Tengah menuju Ketapang Kalimantan barat. Dengan jarak sekitar 470km dan terlalu lama rasanya waktu yang saya habiskan untuk jarak itu dengan waktu 2 hari 2 malam/48 jam.
Dan yang menyebabkan waktu begitu lama adalah, jalan yang di tempuh tidak memiliki marka jalan (Tahun 2007) dan belum di aspal sekalipun. Rasanya ini sangat bertolak belakang jika kita perhatikan dengan begitu macetnya Kota Jakarata, Surabaya. Makasar dan Medan. Saat itu jadi terbayang bagaimana pula jalan darat yang ada di pulau Irian, karena disana perjalanan satu satunya antar Kota/Kab itu hanya melalui Udara?.
Selain itu memang tidak ada angkutan umum yang menghubungkan antara Kalteng-Kalbar. Sehingga perkonomian warga Kalbar lebih cenderung akrab dengan Jakarta dari pada Kalteng sebagai saudara satu pulaunya. Mungkin itulah alasan orang pontianak lebih suka dengan sebutan orang Pontianak daripada orang Kalimantan.
Itu hanyalah pada pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum. Bagaimana dengan perekonomian, pendidikan dan kesehatan?. Karena sepertinya memang sama, perbandingannya jika umpamakan jalan di Cengkareng dan jalanan di Kalteng-Kalbar tersebut.
Apakah Letak Geologis mempengaruhi perpecahan?
Indonesia memang terdiri dari kepulauan yang terpisah, namun demikian tentu itu jangan samapi dijadikan alas an perpecahan di indonesia. Dengan Jauhnya mengurus keperluan yang berhubungan dngan pemerintahan menjadi salah atu alsan kuatn Riau pecah menjadi Riau dan Kepri (Kepulauan Riau).
Mungkin dengan alasan itulah Bima, Sila, Dompu, Nangatumpu dan Sumbawa ingin hal yang sama. Begitupun dengan warga Sabang yang merasa terlalu jauh untuk mengurus keperluan administrasi pemerintahan dengan menyebrang ke Ulele Banda Aceh. Karena Feri penyebrangan juga hanya ada 2 kali dalam seminggu. Bagaimana dengan masyarakat yang ada di pulau Madura?. Sepertinya pun sama juga.
Iklim, warna kulit yang berbeda jadi poin dalam Divide et impera ?
Beruntunglah sepertinya pada waktu dulu perbedaan warna kulit di Indonesia tidak begitu dominan menjadi pemicu perpecahan. Padahal di negara barat sama sepertinya ini merupakan hak yang paling rentan menjadi pemmicu perpecahan. Karna seperti kita ketahui di indonesia yang berbeda beda keadaan cuacanya mempengaruhi pada warna kulit penduduknya. Selain itu warna kulit memang sudah menjadi gen yang di turunkan oleh pendahulunya.
Mungkin keadaan tersebut pula yang membuat dominasi profesi terjadi. Sehingga adanya kecenderungan pengacara, penjual makanan dan pedagang di dominasi oleh warga Indonesia dari salah satu daerah pada tiap masing masingcontoh profesi tersebut .
Persepakbolaan Indonesia mengarahkan pada perpecahan?
Bandung, dikalangan suporter sepak bola Indonesia pasti erat kaitannya dengan Viking, Jakarta dengan The Jack Mania dan seterusnya. PSSI sepertinya mngetahui dngan sangat adanya ketidak harmonisan antara beberapa supporter di Indonesia ini. Namun usaha apa yang telah dilakukan untuk mendamaikannya?
Yel yel dan lagu para suporter yang saling menghujat itu kerapkali dinyanyikan bersama. Apakan PSSI tidak mendengarnya? Kita semua yakin itu, kata kata kasar bahkan penyebutan dengan nama binatang dari satu suporter kepada supporter lain (yang katanya musuh) adalah tidak baik dan harus segera dihentikan. Apakah PSSI memang blum menganggap itu sebuah hal yang serius?.
****
Begitulah mungkin keadaan social yang terjadi sekarang dan harus kita hindari. Karna itu akan memicu benih benih perpecahan. Dan sekecil apapun itu sebaiknya harus sejak dini kita hindari. Dan biarkan Divide et impera tinggal kenangan. Dan jadikan semboyan Bhineka Tunggal ika menjadi sebuah simbol kebanggan terhadap beraneka ragamnya adat, budaya serta daerah yang ada di Indonesia.
Demikianlah secuil kisah yang kudapat selama berkunjung ke sebagian kecil daerah yang ada di Indonesia ini. karna jika di telusuri lebih jauh lagi. Begitu banyak daera- daerah yang belum dikunjungi. Dan begitu banyak pula budaya serta keadaan di dalamnya. Aku bangga dengan keaneka ragaman tersebut, karena dengan begitu banyaknya perbedaan, kita dapat menjadi suatu identitas tersendiri.
Mari kita jadikan semua perbedaan yang ada ini menjadi sebuah kebaggaan, dengan cara membuat perbedaan tersebut menjadi sebuah keharmonisan dan saling mengghargai dengan toleransi dan kebersamaan yang tetap terjaga. Karena pelangi itu indah dan tidak akan indah jika warnanya sama.
****O****
informasi yang sangat menarik dan bermanfaat nih gan
ReplyDeletesenang bisa berkunjung ke blog anda
terimakasih banyak